Sanksi Hukum Terhadap Perbuatan Menularkan Penyakit HIV/AIDS Dengan Sengaja | SorotNTB
Cari Berita

Iklan 970x90 px

Sanksi Hukum Terhadap Perbuatan Menularkan Penyakit HIV/AIDS Dengan Sengaja | SorotNTB

Minggu, 25 September 2022

Opini Oleh : dr. Muhammad Akbar, Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Kesehatan

Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya, Konselor HIV AIDS RSUD Bima


Opini - Virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang dapat menyebabkan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang secara perlahan namun pasti akan merenggut nyawa manusia yang terjangkit virus HIV jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Penyebaran virus ini dapat melalui hubungan seksual dari seseorang yang sudah terkena virus HIV. Selain itu virus ini dapat pula menyebar melalui transfusi darah, pemakaian jarum suntik bersama-sama dan air susu ibu (ASI)yang terpapar virus HIV. 


Obat yang dapat menyembuhkan secara sempurna penyakit HIV/AIDS hingga saat ini masih belum ditemukan, pengobatan yang digunakan saat ini bersifat mengendalikan dan mengurangi jumlah virus dalam tubuh penderita. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) seharusnya menggunakan pengaman (kondom) saat melakukan hubungan seks dan dilarang mendonorkan darah agar tidak menulari orang lain.


Penyebaran virus ini dapat mengganggu ketentraman dalam masyarakat karena semakin banyaknya orang yang terjangkit virus ini. Seperti yang kita ketahui virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh manusia bahkan sampai menyebabkan kematian. Untuk menjaga ketentraman dalam masyarakat, maka pelaku yang dengan sengaja melakukan penyebaran virus ini harus ditindaklanjuti. Tidak hanya dengan memberikan edukasi, sosialisasi ataupun perluasan cakupan perawatan, dukungan serta pengobatan pasien HIV/AIDS, tapi perlu ditindak secara hukum agar memberikan efek jera dan memberikan kepastian hukum bagi para korban.


Di beberapa negara telah menerapkan hukuman yang tegas bagi yang sengaja menularkan penyakit HIV/AIDS. Pengadilan negara Jerman menerapkan sanksi hukum dengan ancaman hukuman 6 bulan sampai 10 tahun penjara dengan tuduhan membahayakan tubuh orang lain. 


Seperti yang dijatuhkan kepada Nadja Benaissa, penyanyi pop asal Jerman yang sengaja menipu dan menulari HIV kepada tiga pria pasangan seksnya. Benaissa tidak pernah memberitahu keadaannya yang tengah terinfeksi virus HIV positif. Ia pun tak pernah menggunakan pengaman (kondom) setiap kali berhubungan seks. Salah satu pasangan seksnya itu kini dinyatakan positif HIV, diduga sebagai akibat melakukan hubungan intim dengannya.


Sanksi hukum bagi ODHA yang tidak melakukan upaya pencegahan dan penularan HIV/AIDS terdapat di dalam undang-undang dan beberapa peraturan daerah tentangp enanggulangan AIDS. 


Pada tingkat nasional, permasalahan HIV/AIDS telah diatur dalamkeputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1994. Keputusan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPA). Terdapat juga Permenkes No.21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV AIDS. Pada tingkat dunia, pada 10 Juni 2001 telah dideklarasikan komitmen politik para pemimpin negara dalam KTT AIDS PBB di New York. Komitmen ini menyangkut upaya mengintensifkan penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif di tingkat masyarakat.


Dalam KUHP dapat dilihat bahwa tidak tercantum secara jelas terkait perbuatanm enyebar virus HIV/AIDS. Sehingga masih terdapat kekosongan norma terhadap perbuatan tersebut yang menjadi celah bagi seseorang untuk melakukan perbuatan menyebar virus. Seperti yang kita ketahui bahwa virus HIV dapat membahayakan tubuh orang yang terinfeksi virus.


Sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang terjangkit virus. Jika ditularkan virus dapat mengakibatkan luka pada tubuh orang lain, maka terdapat kesamaan dengan unsur pasal yang ada dalam KUHP yaitu kejahatan terhadap tubuh.


Kejahatan terhadap tubuh merupakan kejahatan yang berupa penyerangan terhadap tubuh atau bagian dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka sehingga karena luka tersebut yang terdapat dalam tubuh dapat mengakibatkan kematian. Kejahatan terhadap tubuh diatur dalam buku ke II KUHP dan terdapat pembagian dalam kejahatan terhadap tubuh berdasarkan unsur kesalahannya, yaitu : 


1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja atau diklasifikasikan sebagaipenganiayaan. Kejahatan ini terdapat dalam bab XX KUHP pada pasal 351 sampaidengan pasal 358.


2. Kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian. Kejahatan ini terdapat dalam bab XXI KUHP pada pasal 360. Jika ditelaah kembali berdasarkan pembagian di atas maka perbuatan penyebaran virus HIV dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Hal ini didasari oleh adanya suatu kesengajaan untuk menyebarkan virus kepada orang lain. Maka dapat dikatakan bahwa perbuatan menyebar virus HIV dapat disamakan dengan kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja atau penganiayaan.


Dari rumusan pasal 351 KUHP, dapat diketahui bahwa undang-undang hanyamenyatakan mengenai penganiayaan tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa kesengajaan merugikan kesehatan (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan. Berdasarkan penjabaran terkait pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dapat dilihat bahwa perbuatan menyebar virus HIV memenuhiu nsur dari pasal 351 ayat (4) KUHP yaitu dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 


Hal ini terlihat dengan adanya kesengajaan untuk menyebar virus HIV kepada orang lain dan mengakibatkan terganggunya kesehatan dari orang yang terinfeksi virus tersebut.


Sehingga pelaku penyebar virus HIV dapat dijerat pidana dengan menggunakan ketentuan dari pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Dengan adanya pelaku yang dengan sengaja menyebar virus HIV/AIDS menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. 


Kesengajaan untuk menyebar virus ini bukanlah sekedar untukm elampiaskan rasa kekecewaan dari para pengidap penyakitnya melainkan sudah mengganggu hak orang lain untuk mendapat kesehatan yang layak dan hak untuk hidup. Untuk memberikan efek jera serta menanggulangi perbuatan yang serupa di masa yang akan datang, dirasa perlu untuk memberikan sanksi hukum yang berat untuk para pelaku penyebar virus HIV/AIDS.


Permasalahan terkait dengan virus HIV ini dalam hukum positif Indonesia diluar KUHP baru di atur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain : 


1) Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam undang-undang ini hanya menjelaskaan terkait penyakit menular pada pasal 152. Pada pasal ini hanya terdapat bagaimana peran pemerintah dan pengendalian serta pencegahan penyakit menular saja.


Belum diatur dalam undang-undang ini terkait dengan sanksi pidana bagi pelakupelanggaran penyebar penyakit menular atau virus HIV.


2) Peraturan Menteri Kesehatan No 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Dalam permenkes ini hanya dijelaskan cara-cara menanggulangi HIV dan AIDS dan tidak ada sanksi pidana bagi pelaku pelanggaran penyebar virus HIV/AIDS.


3) Peraturan daerah yang mengatur terkait penanggulangan virus HIV/AIDS yang diterapkan di setiap provinsi, antara lain :

a. Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 5 Tahun 2008 Tentang Penanggulangan Dan

Penularan HIV AIDS. Dalam perda ini mengatur sanksi pidana maksimal 3 bulan

dan denda maksimal 50 juta, bagi para pelaku penyebar HIV AIDS.

b. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No 5 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur. Dalam perda ini sudah diatur terkait dengan sanksi pidana yang akan dijatuhkan bagi para pelaku penyebar virus HIV/AIDS yang terdapat dalam pasal 9 berupa kurungan paling lama 6 bulan dan denda sebanyak 50 juta.


c. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 3 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Dalam perda ini sudah diatur terkait dengan sanksi pidana yang akan dijatuhkan bagi para pelaku penyebar virus HIV/AIDS yang terdapat dalam pasal 27 berupa kurungan paling lama 6 bulan dan denda sebanyak 50 juta.


Melihat beberapa peraturan perundangan di atas dapat dilihat bahwa perbuatan menyebar virus HIV barulah diatur dalam peraturan daerah disetiap provinsi. Hal ini sudah cukup baik namun belum adanya peraturan secara nasional yang mendukung peraturan daerah tersebut.


Untuk mengantisipasi kelemahan sanksi pidana di peraturan daerah, maka dirasa perlu untuk membentuk sebuah peraturan yang memuat tentang perbuatan menyebar virus HIV atau penyakit menular lainnya.


Dapat disimpulkan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan payung utama hukum pidana di Indonesia, tidaklah diatur dengan jelas mengenai perbuatan menyebar virus, khususnya virus HIV. Namun, apabila meninjau akibat yang ditimbulkan dari

perbuatan menyebar virus tersebut yaitu dapat menyebabkan rasa sakit atau menggangu

kesehatan orang. Maka dapat dijerat dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 351 ayat (4) KUHP tentang penganiayaan yang disamakan dengan merusak kesehatan seseorang. Selain dalam KUHP, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait penyebaran virus HIV. 


Seperti Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan No 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang dimana dlama peraturan ini tidak tercantum sanksi pidana bagi pelaku penyebar virus HIV.


Sebaliknya peraturan daerah yang mempunyai tingkatan hirarki perundang-undangan lebih rendah sudah mencantumkan sanksi pidan abagi pelaku penyebar virus HIV. (SRT)